Blogger templates

Wednesday, March 14, 2012

 MASUK DAN BERKEMBANGNYA AGAMA DAN  KEBUDAYAAN HINDU–BUDDHA DI INDONESIA
A. Proses Masuk dan Berkembangnya Agama dan Kebudayaan Hindu– Buddha di Indonesia
Sejak zaman prasejarah penduduk Indonesia dikenal sebagai pelaut ulung yang  sanggup mengarungi lautan lepas. Pada permulaan pertama tarikh Masehi, telah  terjalin hubungan dagang antara Indonesia dengan India. Hubungan ini kemudian  juga berkembang ke hubungan agama dan budaya. Hal ini disebabkan para pedagang  dari India tidak hanya membawa barang dagangannya, tetapi juga membawa agama  dan kebudayaan mereka sehingga menimbulkan perubahan kehidupan dalam  asyarakat Indonesia, yakni sebagai berikut.
1. Semula hanya mengenal kepercayaan animisme dan dinamisme, kemudian  mengenal dan menganut agama Hindu–Buddha.
2. Semula belum mengenal aksara/tulisan, menjadi mengenal aksara/tulisan dan Indonesia memasuki zaman Sejarah.
1. Hubungan Dagang Indonesia dengan India dan Cina Pada awal abad tarikh Masehi, negeri Kepulauan Nusantara telah menjalin  hubungan dengan bangsa-bangsa di Asia. Bentuk hubungan dagang yang berlangsung  pada saat itu bermula dari kegiatan perdagangan dan pelayaran. Sebagai akibat dari hubungan perdagangan dan pelayaran, timbullah pertemuan kebudayaan yang  melahirkan kebudayaan baru bagi masyarakat Nusantara. Proses percampuran antara  dua atau lebih kebudayaan yang saling bertemu dan mempengaruhi itu disebut  akulturasi kebudayaan. Adanya hubungan dagang pada awal abad tarikh Masehi,  didasarkan adanya sumber-sumber baik ekstern maupun intern.
a. Sumber Ekstern
1 ) Sumber dari India
Menurut Van Leur dan Wolters, kegiatan hubungan dagang Indonesia  dengan bangsa-bangsa Asia pertama kali dilakukan dengan India, kemudian  Cina. Bukti adanya hubungan dagang tersebut dapat diketahui datri  kitab Jataka dan kitab Ramayana. Kitab Jataka menyebut nama Swarnabhumi sebuah negeri emas yang dapat dicapai setelah melalui  perjalanan yang penuh bahaya. Swarnabhumi yang dimaksud ialah  Pulau Sumatra. Kitab Ramayana menyebut nama Yawadwipa dan  Swarnadwipa. Menurut para ahli, Yawadwipa (pulau padi) diduga  sebutan untuk Pulau Jawa, sedangkan Swarnadwipa (pulau emas dan  perak) adalah Pulau Sumatra.
Nah, kapan terjadi hubungan dagang antara India dengan Indonesia  secara aktif? Kitab Jataka dan kitab Ramayana tidak menyebut secara  jelas terjadinya hubungan dagang dengan tempat-tempat di Indonesia. Salah satu kitab sastra India yang dapat dipercaya adalah kitab  Mahaniddesa yang memberi petunjuk bahwa masyarakat India telah  mengenal beberapa tempat di Indonesia pada abad ke-3 Masehi. Dalam  kitab Geographike yang ditulis pada abad ke-2  juga disebutkan telah  ada hubungan dagang antara India dan Indonesia. Dari kedua keterangan  tersebut, dapat disimpulkan bahwa secara intensif terjadinya hubungan  dagang antara Indonesia dan India mulai abad-abad tersebut (abad ke  2-3 Masehi).
2 ) Sumber dari Cina
Kontak hubungan Indonesia dengan Cina diperkirakan telah  berkembang pada abad ke-5. Bukti-bukti yang memperkuat hubungan  itu di antaranya adalah perjalanan seorang pendeta Buddha, Fa Hien.  Pada sekitar tahun 413 M, Fa Hien melakukan perjalanan dari India ke  Ye-po-ti (Tarumanegara) dan kembali ke Cina melalui jalur laut.  Selanjutnya, Kaisar Cina, Wen Ti mengirim utusan ke She-po ( Pulau  Jawa). Berdasarkan bukti-bukti tersebut dapat disimpulkan bahwa pada  abad ke-5 telah dilakukan hubungan perdagangan dan pelayaran secara  langsung antara Indonesia dan Cina.  Barang-barang yang diperdagangkan dari Cina berupa sutra, kertas,  kulit binatang berbulu, kulit manis, dan barang-barang porselin. Barangbarang  dagangan dari India berupa ukiran, gading, perhiasan, kain tenun,  gelas, permata, dan wol halus yang ditukar dengan komoditas dari  Indonesia seperti rempah-rempah, emas, dan perak.
3 ) Sumber dari Yunani
Keterangan lain tentang adanya hubungan dagang antara Indonesia  dengan India, dan Cina dapat diketahui dari Claudius Ptolomeus,  seorang ahli ilmu bumi Yunani. Dalam kitabnya yang berjudul Geographike  yang ditulis pada abad ke-2, Ptolomeus menyebutkan nama  Iabadio yang artinya pulau jelai. Mungkin kata itu ucapan Yunani untuk  menyebut Yawadwipa, yang artinya juga pulau jelai. Dengan demikian,  seperti yang disebutkan dalam kitab Ramayana bahwa Yawadwipa yang  dimaksud ialah Pulau Jawa.
b. Sumber Intern
Adanya sumber-sumber dari luar, seperti dari India, Cina dan Yunani,  diperkuat adanya sumber-sumber yang ada di Indonesia sendiri. Sumber sumber  sejarah di dalam negeri yang memperkuat adanya hubungan dagang  antara Indonesia dengan India dan Cina, antara lain sebagai berikut.
1) Prasasti
Prasasti-prasasti tertua di Indonesia yang menunjukkan hubungan  Indonesia dengan India, misalnya Prasasti Mulawarman di Kalimantan  Timur yang berbentuk yupa. Demikian juga prasasti-prasasti   purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat. Semua  prasasti ditulis dalam bahasa Sanskerta dan huruf Pallawa.
2 ) Kitab-Kitab Kuno
Kitab-kitab kuno yang ada di Indonesia biasanya ditulis pada daun  lontar yang ditulis dengan menggunakan bahasa dan tulisan Jawa Kuno  yang juga merupakan pengaruh dari bahasa Sanskerta dan tulisan  Pallawa. Kemampuan membaca dan menulis ini diperoleh dari pengaruh  Hindu dan Buddha.
3 ) Bangunan-Bangunan Kuno
Bangunan kuno yang bercorak Hindu ataupun Buddha terdiri atas  candi, stupa, relief, dan arca. Banyak peninggalan bangunan-bangunan  kuno yang bercorak Hindu atau Buddha di Indonesia. Demikian juga benda-benda peninggalan dinasti-dinasti Cina. Hal ini menunjukkan  adanya hubungan antara Indonesia, India, dan Cina.  Hubungan dagang Indonesia dengan India dan Cina telah menempatkan  Indonesia di kancah perdagangan dan pelayaran masa Kuno. Namun, pengaruh  kebudayaan India dan Cina terhadap perkembangan sejarah Indonesia amat  berbeda. Hal itu disebabkan dalam perkembangan selanjutnya, para pedagang  India di samping berdagang, mereka juga menyebarkan agama dan kebudayaan  Hindu–Buddha.
Para brahmana atau pendeta dengan ikut para pedagang berlayar, mereka  singgah di daerah-daerah untuk menyebarkan agama dan kebudayaan Hindu  dan Buddha. Dengan demikian, hubungan dagang dengan India telah  memunculkan perubahan besar dalam tatanan kehidupan bangsa Indonesia,  baik di bidang sosial, budaya, maupun politik sebagai dampak dari persebaran  agama dan kebudayaan Hindu– Buddha. Terbukti di Indonesia muncullah  kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu dan Buddha yang tersebar di berbagai  daerah di Indonesia, seperti Kalimantan, Jawa, Sumatra, dan Bali.
2. Pembawa Pengaruh Agama dan Kebudayaan Hindu Buddha
Bagaimana proses masuk dan berkembangnya agama dan kebudayaan  Hindu–Buddha ke Indonesia? Siapa yang membawa agama dan kebudayaan  Hindu–Buddha ke Indonesia? Hal itu menimbulkan berbagai macam interpretasi  karena tidak ada bukti yang konkrit. Ada beberapa hipotesis tentang  masuknya  agama dan budaya Hindu–Buddha ke Indonesia, antara lain sebagai berikut.
a. Hipotesis Waisya
Hipotesis waisya mengungkapkan bahwa masuknya agama dan  kebudayaan Hindu dibawa oleh golongan pedagang (waisya). Mereka  mengikuti angin musim (setengah tahun berganti arah) dan enam bulan  menetap di Indonesia dan menyebarkan agama dan kebudayaan Hindu.  Menurut para pendukung hipotesis waisya, kaum waisya yang  umumnya merupakan kelompok pedagang inilah yang berperan besar  dalam menyebarkan agama dan kebudayaan Hindu ke Nusantara. Mereka  yang menjadikan munculnya budaya Hindu sehingga dapat diterima di  kalangan masyarakat.. Pada saat itu, para pedagang banyak berhubungan  dengan para penguasa dan rakyat. Jalinan hubungan itu yang membuka  peluang terjadinya proses penyebaran agama dan budaya Hindu. Salah  satu tokoh pendukung hipotesis waisya adalah N.J. Krom.
b. Hipotesis Kesatria
Hipotesis kesatria mengungkapkan bahwa pembawa agama dan  kebudayaan Hindu masuk ke Nusantara adalah kaum kesatria. Menurut  hipotesis ini, pada masa lampau di India terjadi peperangan antarkerajaan.  Para prajurit yang kalah perang, kemudian mengadakan migrasi ke daerah  lain. Tampaknya, di antara mereka ada yang sampai ke Indonesia dan  mendirikan koloni-koloni melalui penaklukan. Mereka menyebarkan agama  dan kebudayaan Hindu di Indonesia. Salah seorang pendukung hipotesis  kesatria adalah C.C. Berg.
c. Hipotesis Brahmana
Hipotesis brahmana mengungkapkan bahwa pembawa agama dan  kebudayaan Hindu ke Indonesia ialah golongan brahmana. Para brahmana  datang ke Nusantara diundang oleh penguasa Nusantara untuk menobatkan  menjadi raja dengan upacara Hindu (abhiseka = penobatan). Selain itu,  kaum brahmana juga memimpin upacara-upacara keagamaan dan  mengajarkan ilmu pengetahuan. Pendukung hipotesis ini adalah J.C. van  Leur.
d. Hipotesis Nasional
Hipotesis nasional mengungkapkan bahwa penduduk Indonesia banyak  yang aktif berdagang ke India, pulangnya membawa agama dan kebudayaan  Hindu. Sebaliknya, orang-orang Indonesia (raja) mengundang para  brahmana dari India untuk menyebarkan agama dan kebudayaan Hindu di  Indonesia. Jadi, bangsa Indonesia sendiri yang aktif memadukan unsurunsur  kebudayaan India. Banyak pemuda Indonesia yang belajar agama  Hindu–Buddha ke India dan setelah memperoleh ilmu, mereka kembali  untuk menyebarkan agama di Tanah Air.
Terlepas dari hipotesis tersebut , orang-orang Indonesia ikut memegang  peranan penting dalam masuknya agama dan budaya India. Orang-orang  Indonesia yang memiliki pengetahuan dari pada pendeta India kemudian  pergi ke tempat asal guru mereka untuk melakukan ziarah dan menambah ilmu mereka. Sekembalinya dari India dengan bekal pengetahuan yang  cukup, mereka ikut serta menyebarkan agama dan budaya dengan memakai  bahasa mereka sendiri. Ajaran-ajaran yang mereka sebarkan dapat lebih  cepat diterima oleh penduduk. Jadi, proses masuknya budaya India ke  Indonesia menjadi lebih cepat dan mudah.
3. Peta Jalur Masuk dan Berkembangnya Agama dan Kepercayaan Hindu– Buddha
Pada sekitar abad ke-2 sampai dengan 5 Masehi, diperkirakan telah masuk  agama dan kebudayaan Buddha ke Indonesia. Kemudian disusul pengaruh  Hindu ke Indonesia pada abad ke-5 Masehi. Agama dan budaya Hindu-Buddha  dibawa ke Indonesia oleh para pedagang dan pendeta dari India atau Cina, masuk ke Indonesia mengikuti dua jalur.
a. Melalui Jalur Laut
Para penyebar agama dan budaya Hindu –Buddha yang menggunakan  jalur laut datang ke Indonesia mengikuti rombongan kapal-kapal para dagang  yang biasa beraktivitas pada jalur India–Cina. Rute perjalanan para penyebar  agama dan budaya Hindu Buddha, yaitu dari India menuju Myanmar,  Thailand, Semenanjung Malaya, kemudian ke Nusantara. Sementara itu,  dari Semenanjung Malaya ada yang terus ke Kamboja, Vietnam, Cina, Korea,  dan Jepang. Di antara mereka ada yang langsung dari India menuju  Indonesia dengan memanfaatkan bertiupnya angin muson barat.
b. Melalui Jalur Darat
Para penyebar agama dan budaya Hindu –Buddha yang menggunakan  jalur darat mengikuti para pedagang melalui Jalan Sutra, dari India ke Tibet  terus ke utara sampai dengan Cina, Korea, dan Jepang. Ada juga yang  melakukan perjalanan dari India utara menuju Bangladesh, Myanmar,  Thailand, Semenanjung Malaya kemudian berlayar menuju Indonesia.  1 Mengapa sejak zaman Kuno, wilayah Nusantara sudah banyak  dikunjungi, bahkan menjalin hubungan dagang dengan bangsa-bangsa  lain, khususnya dengan pusat-pusat agama Hindu–Buddha?
B. Perkembangan Agama dan Kebudayaan Hindu–Buddha di Indonesia
1. Bukti-Bukti Proses Interaksi di Beberapa Daerah dengan Hindu–Buddha  Terdapat bukti yang kuat bahwa agama Buddha masuk ke Indonesia pada  abad ke-2 Masehi, yakni dengan ditemukannya arca Buddha dari perunggu di  Sempaga (Sulawesi Selatan). Arca Buddha ini, merupakan bukti tertua adanya pengaruh budaya India di Indonesia. Penemuan arca itu juga sangat penting  sebab memberikan petunjuk kepada kita ke tinggian taraf hidup dan budaya  rakyat Indonesia pada waktu itu.
Dilihat dari ciri-cirinya, arca tersebut diperkirakan berasal dari langgam Arca  Amarawati, India Selatan (abad 2–5 SM). Ada kemungkinan bahwa arca ini  merupakan barang dagangan atau mungkin juga barang persembahan sesuai  bangunan suci agama Buddha. Arca sejenis juga ditemukan di Jember, Jawa  Timur dan di Bukit Siguntang (Sumatra Selatan). Adapunn di Kutai, Kalimantan  Timur ditemukan arca Buddha yang memperlihatkan arca seni Gandhara, India  Utara.
Penemuan prasasti-prasasti di Kutai dari Raja Mulawarman dan prasastiprasasti  di Tarumanegara dari Raja Purnawarman menunjukkan adanya proses  penghinduan. Huruf yang dipakai dalam prasasti-prasasti itu, ialah huruf Pallawa,  dengan bahasa Sanskerta. Selain itu, Raja Mulawarman juga sering mengadakan  upacara-upacara keagamaan dan mendatangkan brahmana-brahmana dari  India. Semuanya ini menunjukkan adanya pengaruh budaya dari India di
Indonesia.  Pada abad ke-4 Masehi agama dan kebudayaan Hindu masuk ke Indonesia.  Prasasti-prasasti dari Kerajaan Kutai dan Kerajaan Tarumanegara menunjukkan  adanya proses penghinduan. Pada mulanya yang berkembang terlebih dahulu ialah  agama Hindu baru kemudian agama Buddha (agama Buddha yang berkembang di  Indonesia ialah agama Buddha Mahayana). Hal ini terbukti bahwa raja-raja
pertama di Indonesia menganut agama Hindu, seperti Mulawarman dari  Kerajaan Kutai dan Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara. Lama kelamaan  kedua agama ini terus berkembang, silih berganti menjadi agama yang paling  utama dalam negara. Setelah hidup berdampingan secara damai selama berabad abad,  kemudian terjadi sinkretisme di antara keduanya. Hasil sinkretisme tersebut  menimbulkan suatu aliran agama baru yang dikenal sebagai agama Siwa-  Buddha. Aliran ini berkembang dengan pesat pada abad ke-13 M. Penganut  aliran ini, antara lain Raja Kertanegara dan Adityawarman.
2. Perkembangan Tradisi Hindu–Buddha
Sikap aktif selektif diterapkan bangsa Indonesia terhadap kebudayaan dari  luar, artinya kebudayaan asing yang masuk ke Indonesia diseleksi dan disesuikan  dengan kepribadian bangsa Indonesia. Oleh karena itu, setelah agama dan  kebudayaan Hindu–Buddha masuk ke Indonsia terjadilah akulturasi. Perwujudan  akulturasi antara kebudayaan Hindu–Buddha dengan kebudayaan Indonesia,  antara lain sebagai berikut.
a. Seni Bangunan
Wujud akulturasi seni bangunan terlihat pada bangunan candi, salah  satu contohnya adalah Candi Borobudur yang merupakan perpaduan  kebudayaan Buddha yang berupa patung dan stupa dengan kebudayaan  asli Indonesia, yakni punden berundak (budaya Megalithikum).
b. Seni Rupa dan Seni Ukir
Akulturasi di bidang seni rupa dan seni ukir terlihat pada Candi Borobudur yang berupa relief Sang Buddha Gautama  (pengaruh dari Buddha) dan relief perahu  bercadik, perahu besar tidak bercadik, perahu lesung, perahu kora-kora, dan  rumah panggung yang di atapnya ada burung bertengger (asli Indonesia). Di  samping itu, ragam hias pada candi candi  Hindu–Buddha dan motif-motif  batik yang merupakan perpaduan seni   India dan Indonesia.
c. Aksara dan Seni Sastra
Pengaruh budayaHindu–Buddha salah satunya menyebabkan bangsa  Indonesia memperoleh kepandaian membaca dan menulis aksara, yaitu  huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta. Kepandaian baca-tulis akhirnya  membawa perkembangan dalam seni sastra. Misalnya, cerita Mahabarata  dan Ramayana berakulturasi menjadi wayang "purwa" karena wayang  merupakan kebudayaan asli Indonesia. Demikian juga kitab Mahabarata  dan Ramayana digubah menjadi Hikayat Perang Pandawa Jaya dan Hikayat  Sri Rama, dan Hikayat Maharaja Rahwana.
Dalam pertunjukan pewayangan yang merupakan kebudayaan asli  Indonesia, isi ceritanya dari India yang bersumber pada kitab Mahabarata  dan Ramayana. Munculnya punakawan, seperti Semar, Gareng, Petruk,  dan Bagong adalah penambahan bangsa Indonesia sendiri. Ragam hias  pada wayang purwa adalah akulturasi seni India dan Indonesia.
d. Sistem Pemerintahan
Di bidang pemerintahan dengan masuknya pengaruh Hindu maka  muncul pemerintahan yang dipegang oleh raja. Semula pemimpinnya adalah  kepala suku yang dianggap mempunyai kelebihan dibandingkan warga  lainnya(primus interpares). Raja tidak lagi sebagai wakil dari nenek moyang,  tetapi sebagai penjilmaan dewa di dunia sehingga muncul kultus "dewa raja".
e. Sistem Kalender
Masyarakat Indonesia telah mengenal astronomi sebelum datangnya  pengaruh Hindu–Buddha. Pada waktu itu astronomi dipergunakan untuk  kepentingan praktis. Misalnya, dengan melihat letak rasi (kelompok) bintang  tertentu dapat ditentukan arah mata angin pada waktu berlayar dan tahu  kapan mereka harus melakukan aktivitas pertanian.
Berdasaran letak bintang dapat diketahui musim-musim yanga ada,  antara lain musim kemarau, musim labuh, musim hujan, dan musim mareng.  Jadi di Indonesia telah mengenal sistem kalender yang berpedoman  pada pranatamangsa, misalnya mangsa Kasa (kesatu) dan mangsa Karo (kedua).   Kebudayaan Hindu–Buddha yang masuk ke Indonesia telah memiliki  perhitungan kalender, yang disebut kalender Saka dengan perhitungan 1  tahun Saka terdiri atas 365 hari. Menurut perhitungan tahun Saka, selisih  tahun Saka dengan tahun Masehi adalah 78 tahun.
f. Sistem Kepercayaan
Nnenek moyang bangsa Indonesia mempunyai kepercayaan menyembah  roh nenek moyang (animisme) juga dinamisme dan totemisme. Namun, setelah pengaruh Hindu– Buddha masuk terjadilah akulturasi system  kepencayaan sehingga muncul agama Hindu dan Buddha. Pergeseran  fungsi candi. Misalnya fungsi candi di India sebagai tempat pemujaan,  sedangkan di Indonesia candi di samping tempat pemujaan juga ada yang  difungsikan sebagai makam (biasanya raja/pembesar kerajaan).
g. Filsafat
Akulturasi filsafat Hindu Indonesia menimbulkan filsafat Hindu Jawa.  Misalnya, tempat yang makin tinggi makin suci sebab merupakan tempat  bersemayam para dewa. Itulah sebabnya raja-raja Jawa (Surakarta dan Yogyakarta)  setelah meninggal dimakamkan di tempat-tempat yang tinggi, seperti  Giri Bangun, Giri Layu (Surakarta), dan Imogiri (Yogyakarta). A. Kerajaan-Kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia
1. Kerajaan Kutai
a. Kehidupan Politik
Kerajaan Kutai yang berlokasi di hulu Sungai  Mahakam, Kalimantan Timur adalah kerajaan bercorak Hindu pertama di Nusantara. Sumber utama Kerajaan  Kutai ialah tujuh buah batu bertulis yang disebut yupa.  Yupa itu ditulis dengan huruf Pallawa dan berbahasa  Sanskerta. Yupa itu diperkirakan ditulis pada tahun 400  M ( abad ke-5 M ). Dari yupa itu dapat diketahui bahwa  raja yang memerintah ialah Mulawarwan, anak Aswawarman,  dan merupakan cucu Kudungga. Disebutkan pula dalam yupa itu bahwa Raja Mulawarman memberikan hadiah 1.000 ekor lembu kepada kaum brahmana. Selain itu, disebutkan pula bahwa Aswawarman adalah wangsakarta (pendiri dinasti). Dar berbagai keterangan tersebut dapat dipastikan bahwa Kerajaan Kutai telah mendapat pengaruh Hindu. Namun, pengaruh Hindu diduga setelah Kudungga selesai memerintah. Hal itu didasarkan pada nama Kudungga sendiri adalah nama asli Indonesia. Oleh karena itu Kudungga tidak disebut wangsakarta. Raja Mulawarman adalah raja terbesar Kutai dan telah memeluk agama Hindu.
b. Kehidupan Sosial-Ekonomi
Dilihat dari letak Kerajaan Kutai pada jalur perdagangan dan pelayaran antara Barat dan Timur maka aktivitas perdagangan tampaknya menjadi mata pencaharian yang utama. Rakyat Kutai sudah aktif terlibat dalam perdagangan internasional dan tentu saja mereka berdagang pula sampai ke perairan Laut Jawa dan Indonesia Timur untuk mencari barang-barang dagangan yang laku di pasaran Internasional. Dengan demikian, Kutai telah termasuk daerah persinggahan perdagangan internasional, yaitu Selat Malaka–Laut Jawa–Selat Makasar–Kutai-–Cina, atau sebaliknya.
c. Kehidupan Kebudayaan
Kehidupan kebudayaan masyarakat Kutai erat kaitannya dengan kepercayaan/agama yang dianut. Yupa merupakan salah satu hasil budaya masyarakat Kutai, yaitu tugu batu yang merupakan warisan nenek moyang bangsa Indonesia dari zaman Megalitikum, yakni bentuk menhir. Salah satu yupa itu menyebutkan suatu tempat suci dengan nama Waprakeswara (tempat pemujaan Dewa Siwa). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masyarakat Kutai adalah pemeluk agama Siwa.
2. Kerajaan Tarumanegara
a. Kehidupan Politik
Kerajaan Tarumanegara diduga terletak di Bogor, Jawa Barat yang merupakan kerajaan Hindu tertua kedua di Indonesia. Sumber-sumber sejarah Kerajaan Tarumanegara dapat dibagi menjadi dua, seperti berikut.
1) Berita dari Cina Zaman Dinasti Tang
Berita dari Cina menyebutkan adanya Kerajaan To-lo-mo (Tarumanegara ) mengirimkan utusan ke Cina pada tahun 528, 538, 665, dan 666 M.
2) Prasasti-Prasasti di Jawa Barat
Prasasti yang menceritakan tentang Kerajaan Tarumanegara, misalnya sebagai berikut:
a) Prasasti Ciaruteun (Bogor);
b) Prasasti Kebon Kopi (Bogor);
c) Prasasti Jambu atau Prasasti Pasir Koleangkak
(Bogor);
d) Prasasti Pasir Awi atau Pasir Muara (Bogor;
e) Prasasti Tugu (Cilincing, Tanjuk Priok, Jakarta).;
f ) Prasasti Lebak (Banten Selatan).
Ketujuh prasasti tersebut berbahasa Sanskerta dan berhuruf Pallawa. Prasasti Ciaruteun selain berisi empat baris kalimat, pada prasasti ini juga dipahatkan lukisan seperti lukisan lebah lebah dan sepasang telapak kaki. Empat baris kalimat itu berbunyi "ini kedua telapak kaki, yang seperti kaki Dewa Wisnu, ialah kaki yang Mulia Purnawarwan, raja di negeri Taruma raja yang sangat gagah berani". Isi Prasasti Kebon Kop, yakni adanya bekas tapak kaki gajah yang disamakan dengan tapak kaki gajah Airawati (gajah tunggangan Dewa Wisnu). Adapun Prasasti Jambu berisi tentang kegagahan Raja Purnawarman. Bunyi prasasti itu, antara lain "gagah, mengagumkan dan jujur trehadap tugasnya adalah pemim-pin manusia yang tiada taranya, yang termashyur Sri Purawarman yang memerintah di Taruma dan yang baju zirahnya tidak dapat ditembus oleh musuh."
Prasasti yang ditemukan semuanya tidak berangka tahun. Namun, dari huruf yang dipakai dapat diperkirakan bahwa Kerajaan Tarumanegara berkuasa di Jawa Barat pada sekitar abad ke-5 M dengan Rajanya Purnawarman.
b. Kehidupan Sosial-Ekonomi
Kehidupan perekonomian masyarakat Tarumanegara adalah pertanian dan peternakan. Hal ini dapat diketahui dari isi Prasasti Tugu yakni tentang pembangunan atau penggalian Saluran Gomati yang panjangnya 6112 tombak (12 km) dan selesai dikerjakan dalam waktu 21 hari. Selesai penggalian, Raja Purnawarman mengadakan selamatan dengan memberikan hadiah 1.000 ekor sapi kepada para brahmana. Pembangunan tu mempunyai arti ekonomis bagi rakyat karena dapat dipergunakan sebagai sarana pengairan dan pencegahan banjir. Dengan demikian, rakyat akan hidup makmur, aman dan sejahtera. Di samping Saluran Gomati, dalam Prasasti Tugu juga disebutkan adanya penggalian Saluran Candrabhaga.
c. Kehidupan Kebudayaan
Dilihat dari teknik dan cara penulisan huruf-huruf pada prasasti-prasasti yang ditemukan sebagai bukti keberadaan Kerajaan Tarumanegara maka dapat diketahui bahwa kehidupan kebudayaan masyarakat pada masa itu sudah tinggi.
Masa Kerajaan-Kerajaan Hindu–Buddha 19
3. Kerajaan Mataram Kuno
Kerajaan Mataram Kuno terletak di Jawa Tengah dengan intinya sering disebut Bumi Mataram. Daerah ini dikelilingi oleh Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Merapi–Merbabu, Gunung Lawu, dan Pegunungan Sewu. Daerah ini juga dialiri oleh Sungai Bogowonto, Sungai Progo, Sungai Elo, dan Sungai Bengawan Solo. Itulah sebabnya daerah ini sangat subur. Di Bumi Mataram diperintah oleh dua wangsa atau dinasti, yaitu Dinasti Sanjaya yang beragama Hindu (di bagian utara), dan Dinasti Syailendra yang beragama Buddha (di bagian selatan). Dalam hal pembuatan candi, kedua dinasti dapat bekerja sama, tetapi di bidang politik terjadi perebutan kekuasaan
a. Kehidupan Politik
Pada mulanya yang berkuasa di Mataram adalah Dinasti Sanjaya. Bukti adanya kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah dapat diketahui dari Prasasti Canggal yang ditemukan di kaki Gunung Wukir, Magelang. Prasasti CAnggal dikeluarkan oleh Raja Sanjaya dengan berangka tahun berbentuk candrasengkala berbunyi srutiindriyarasa atau tahun 654 Saka=732 M berhuruf Pallawa dan berbahasa Sanskerta. Isi pokok Prasasti Canggal adalah pendirian sebuah lingga di Bukit Stirangga buat keselamatan rakyatnya. Petunjuk lain tentang Sanjaya adalah Prasasti Mantyasih atau Prasasti Kedu yang dibuat oleh Raja Balitung. Prasasti itu menyebutkan bahwa Sanjaya adalah raja pertama ( wangsakarta) dengan ibu kota kerajaannya di Mdang ri Poh Pitu. Dalam prasasti itu juga disebutkan raja-raja yang pernah memerintah, seperti berikut:
1) Sanjaya;                          6) Pikatan;
2) Panangkaran;               7) Kayuwangi;
3) Panunggalan;                8) Watuhumalan;
4) Warak;                             9) Balitung.
5) Garung;
Prasasti Dinoyo di Jawa Timur tahun 706 menyebutkan adanya Raja Gajayana yang mendirikan tempat pemujaan Dewa Agastya (perwujudan Siwa sebagai Mahaguru ) diwujudkan pula dalam bentuk lingga. Di sampimg itu, juga didirikan Candi Badut dengan berlanggam candi Jawa Tengah.
Prasasti Kalasan tahun 778 M menyebutkan bahwa keluarga Syailendra berhasil membujuk Panangkaran untuk mendirikan bangunan suci buat Dewi Tara (istri Buddha) dan sebuah biara untuk para pendeta. Panangkaran juga menghadiahkan Desa Kalasan kepada sanggha.
Pada Prasasti Balitung yang berangka tahun 907 M disebutkan nama keluarga raja-raja keturunan Sanjaya memuat nama Panangkaran. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada waktu itu Dinasti Sanjaya dan S-ailendra sama-sama berperan di Jawa Tengah.
Dinasti Sanjaya di bagian utara dengan mendirikan candi Hindu, seperti Gedong Sanga di Ungaran, Candi Dieng di DataranTinggi Dieng. Adapun Dinasti Syailendra dibagian selatan dengan mendirikan candi Buddha, seperti Borobudur, Mendut, dan Kalasan.
Dalam Prasasti Kelurak (di daerah Prambanan) tahun 782 disebutkan tentang pembuatan Arca Manjusri sebagai perwujudan Buddha, Dharma,dan Sanggha yang dapat disamakan dengan Brahma, Wisnu, dan Siwa. Mungkin sekali bangunan sucinya ialah Candi Lumbung yang terletak di sebelah utara Prambanan. Raja yang memerintah pada waktu itu ialah Indra.
Pengganti Indra yang terkenal ialah Smaratungga yang dalam pemerintahannya mendirikan Candi Borobudur tahun 824. Di bawah pemerintahan putri Smaratungga, yakni Pramodhawardani Dinasti Syailendra dan Sanjaya menjadi satu karena perkawinnya dengan Rakai Pikatan yang kemudian membangun candi-candi Buddha dan Hindu.
Misalnya, Candi Plaosan yang merupakan candi Buddha banyak disebut nama Sri Kahulunan Sri Pikatan dapat diartikan nama Sri Kahulunan adalah gelar Pramodhawardani. Rakai Pikatan
mendirikan candi Hind yakni Candi Prambanan (Loro Jonggrang) yang sangat megah. Dengan dibangunnya candi Hindu dan Buddha yang berdekatan menggambarkan adanya kerukunan beragama di Bumi Mataram. Pada tahun 856 terjadi perubahan besar di Jawa Tengah, Balaputra Dewa (adik Pramodhawardani) yang pusat -di pegunungan selatan yang terkenal dengan Istana Ratu Boko berusaha untuk merebut kekuasaan. Namun, ia malah tersingkir dari Jawa Tengah dan akhirnya melarikan diri ke Sumatra (menjadi raja di Sriwijaya). Jawa Tengah kemudian sepenuhnya diperintah oleh Dinasti Sanjaya. Raja terakhirnya Raja Wawa dan digantikan Empu Sendok yang kemudian memindahkan pusat pemerintahannya ke Jawa Timur.
b. Kehidupan Sosial Ekonomi
Kehidupan ekonomi masyarakat bertumpu pada pertanian. Kondisi alam bumi Mataram yang tertutup dari dunia luar sulit untuk mengembangkan aktivitas perekonominan dengan pesat. Pada masa Raja Balitung aktivitas perhubungan dan perdagangan dikembangkan lewat Sungai Bengawan Solo. Pada Prasasti Wonogiri (903) disebutkan bahwa desa  desa yang terletak di kanan-kiri sungai dibebaskan dari pajak dengan catatan harus menjamin kelancaran lalu-lintas lewat sungai tersebut.
c. Kehidupan Agama dan Kebudayaan
Bumi Mataram diperintah oleh Dinasti Sanjaya dan Dinasti Sailendra. Dinasti Sanjaya beragama Hindu dengan pusat kekuasaannya di utara. Hasil budayanya berupa candi-candi, seperti Gedong Sanga dan Kompleks Candi Dieng. Sebaliknya, Dinasti Sailendra beragama Bundha dengan pusat kekuasaannya di daerah selatan. Hasil budayanya , seperti Candi Borobudur, Mendut, dan Pawon.
Semula terjadi perebutan kekuasan, namun kemudian terjalin persatuan ketika terjadi perkawinan antara Pikatan (Sanjaya) beragama Hindu dengan Pramodhawardhani (Sailendra) beragama Buddha. Sejak itu agama Hindu dan Buddha hidup berdampingan secara damai. Hal ini menunjukkan betapa besar jiwa toleransi bangsa Indonesia. Toleransi ini merupakan salah sifat kepribadian bangsa Indonesia yang wajib kita lestarikan agar tercipta kedamaian, ketenteraman dan kesejahteraan.
5. Dinasti Isana di Jawa Timur
Pada abad ke-10 pusat pemerintahan di Jawa Tengah dipindahkan ke Jawa Timur yang tentunya dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pendapat lama menyatakan karena bencana alam, yakni meletusnya gunung berapi dan akibat banyak tenaga laki-laki yang dipekerjakan untuk membuat candi sehingga sawah menjadi terbengkalai. Pendapat baru menyatakan adanya dua faktorpenyebabnya. Pertama, keadaan alam Bumi Mataram tertutup secara alamiah dari dunia luar sehingga sulit untuk berkembang. Sebaliknya, alam Jawa Timur lebih terbuka untuk mengembangkan aktivitas perdagangan dengan dunia luar. Sungai Bengawan Solo dan Sungai Brantas dapat dipakai sebagai sarana perhubungan dan perdagangan antara pedalaman dan pantai. Di samping itu, tanah di Jawa Timur masih subur dibandingkan dengan Jawa Tengah yang sudah lama dimanfaatkan. Kedua, masalah politik, yakni untuk menghindarkan dari serangan Sriwijaya. Hal itu disebabkan setelah Dinasti Syailendra terdesak dari Jawa Tengah dan menetap di Sumatra merupakan ancaman yang serius bagi Dinasti Sanjaya.
a. Kehidupan Politik
Pemindahan kekuasaan ke Jawa timur dilakukan oleh Raja Empu Sendok dan membentuk dinasti baru yakni Isana. Nama Isana diambil dari gelar resmi Empu Sendok, yakni Sri Maharaja Rake Hino Sri Isanawikramatunggadewa. Wilayah kekuasaan Empu Sendok meliputi Nganjuk disebelah barat, Pasuruan di timur, Surabaya di utara, dan Malang di selatan. Empu Sendok memegang pemerintahan tahun 929–947 dengan pusat pemerintahannya di Watugaluh. Ia memerintah dengan adil dan bijaksana dengan melakukan berbagai usaha untuk kemakmuran rakyat. Di antaranya ialah membuat bendungan-bendungan untuk perairan dan memberikan hadiah hadiah tanah untuk pemeliharaan bangunan-bangunan suci. Di samping itu juga memerintahkan untuk mengubah sebuah kitab agama Buddha aliran Tantrayana yang diberi judul Sang Hyang Kamahayanikan. Setelah Empu Sendok meninggal kemudian digantikan oleh putrinya yang bernama Sri Isanatunggawijaya. Putri ini menikiah dengan Lokapala yang melahirkan seorang putra yang bernama Makutawangsawardana sebagai peneruskan takhta ibunya. Setelah Makutawangsawardana meninggal yang menggantikan ialah Dharmawangsa (990–1016). Dalam pemerintahannya ia berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyatnya yang hidup dari pertanian dan perdagangan. Pada saat itu pusat perdagangan di Indonesia dikuasai oleh Sriwijaya sehingga untuk mengambilalihnya Dharmawangsa berusaha untuk menyerang Sriwijaya. Namun, Sriwijaya bangkit mengadakan serangan balasan. Dalam hal ini Sriwijaya mengadakan kerja sama dengan Kerajaan Worawari (kerajaan di Jawa). Serangan Worawari sangat tepat, yakni ketika Dharmawangsa melangsungkan upacara pernikahan putrinya dengan Airlangga (1016) putra Raja Bali. Dharmawangsa beserta seluruh pembesar istana tewas (pralaya). Namun, Airlangga berhasil meloloskan diri beserta istri,
pengiringnya yang setia Narotama, dan beberapa pendeta menuju hutan Wonogiri. Selama tiga tahun (1016–1019) Airlangga digembleng lahir dan batin oleh para pendeta. Atas tuntutan rakyat dan pendeta, Airlangga bersedia menjadi raja menggantikan Dharmawangsa. Pada tahun 1019, Airlangga dinobatkan menjadi raja dengan gelar Sri Maharaja rake Halu Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramatunggadewa. Tugas Airlangga ialah mengembalikan kekuasaan seperti zaman Dharmawangsa dan berhasil dengan baik. Ibu kota kerajaan yang sebelumnya berada Wutan Mas, kemudian dipindahkan ke Kahuripan pada tahun 1037. Selanjutnya, Airlangga melakukan pembangunan di segala bidang demi kemakmuran rakyatnya. Pada tahun 1042 Airlangga mengundurkan diri dari takhta dan menjadi seorang petapa dengan nama Jatinindra atau Resi Jatayu. Sebelumnya Airlangga ingin menobatkan putrinya, Sri Sanggramawijaya untuk menjadi raja, namun ditolak karena ingin menjadi petapa yang dikenal dengan nama Dewi Kili Suci. Akhirnya, kerajaan Airlangga dibagi menjadi dua, yakni Jenggala dengan ibu kota Kahuripan dan Panjalu yang dikenal dengan nama Kediri untuk kedua putranya dari istri selir. Jenggala diperintah oleh Garasakan, sedangkan Kediri oleh Samarawijaya.

ads

Ditulis Oleh : kiki Hari: 4:37 AM Kategori:

2 comments:

  1. Wow. .nice artikel sobat. .kunjungan pertama. .memberi k0men dan memfolo. .kunjungan blik k0men dan follbAck aku tggu s0b.

    ReplyDelete
  2. tapi kenapa indonesia kehilagan jati dirinya sebagai bangsa maritim yang banyak penghasilanya dari berdagang ya? sekarang malah di kuasai oleh singgapur, karena dia sadar akan jatidirinya sebagai pedangang. menyedihkan. makasih artikelnya gan ya.

    ReplyDelete

 

Blogroll

About